Wakaf SMP Islam Ibnu Umar

Shodaqohnya Seorang Istri

 

Shodaqohnya Seorang Istri

Pertanyaan:

Ustadz suami saya sering memberikan uang kembalian belanja untuk saya, atau misal saya suka menyimpan sendiri meskipun tidak diberikan.

Dan saya suka sedekahkan uangnya, sampai suatu saat saya tau bahwa meskipun disedekahkan uang yang milik suami harus izin dahulu.

Akhirnya saya bilang ke suami saya "uang-uang yang saya simpan boleh kah jika disedekahkan tanpa harus izin lagi?"

Suami saya mengiyakan.

Pertanyaannya ustadz:

Uang-uang yang saya simpan itu suka saya berikan ke kedua orangtua saya secara diam-diam tanpa sepengetahuan suami karena saya tidak enak kalau beliau tau. Dan kedua orangtua saya memang bukan orang mampu seperti keluarganya.

Bolehkah yang saya lakukan ini ustadz? 

Karena berdasarkan ilmu yang saya dapat, bahwa sedekah terbaik adalah ke keluarga dan kerabat jika mereka ada yang tidak mampu.

Makanya uang tersebut saya niatkan sebagai sedekah dan sedekah itu untuk kedua orangtua saya. 

Tapi suami saya tidak tau kalau saya suka memberikan orangtua saya.

Mohon nasihatnya ustadz jika saya salah. Jazakallahu khayran khatsiran

(Desy di Jakarta)

Jawaban:

Ada beberapa hadits tentang pengelolaan harta oleh seorang istri.

 قوله صلى الله عليه وسلم: (( إذا أنفقت المرأة من كسب زوجها من غير أمره فلها نصف أجره. ))

"Apabila seorang wanita berinfaq dengan harta dari hasil kerja suaminya tanpa seizinnya, maka ia akan mendapatkan separo pahala". (HR. Al-Bukhari Muslim)

(( لا يجوز لامرأة عطية إلا بإذن زوجها. ))

"Tidak boleh bagi seorang wanita untuk memberi tanpa seizin suaminya". (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nassai, dll)

(( لا تنفق امرأة شيئا من بيت زوجها إلا بإذن زوجها. ))

"Tidaklah seorang wanita menginfaqkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya". (HR. At-Tirmidzi)

 (( إذا أنفقت المرأة من طعام زوجها غير مفسدة كان لها أجرها بما أنفقت، ولزوجها أجره بما اكتسب، وللخازن مثل ذلك، لا ينقص بعضهم من أجر بعض شيئا. )) 

"Apabila seorang wanita menginfaqkan makanan suaminya tanpa ada unsur merusaknya, maka baginya pahala dengan apa yang ia infakkan, dan bagi suaminya pahala dengan apa yang ia usahakan, dan bagi penjaganya demikian pula, dan diantara mereka tidak akan menguarangi pahala yang sebagian yang lain sedikitpun". (HR. Al-Bukhari)

أن أسماء قالت للنبى صلى الله عليه وسلم: مالى مال إلا ما أدخله عليَّ الزبير، أفأتصدق؟ قال: (( تصدقى، ولا توعى فيوعى عليك ))

"Sesungguhnya Asma' berkata, ya Rasulullah, aku tidak punya harta, kecuali jika Zubair (suaminya) memberikan kepadaku, bolehkan aku bersadhaqah?, Rasulullah menjawab, "Bersadhaqahlah!,, janganlah engkau menahannya (bakhil dalam berinfaq), maka niscaya Allah akan menahannya". (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Seorang istri wajib menjaga harta suaminya, maka tidak boleh membelanjakannya untuk suatu kemudhartan.

Seorang suami bertanggung jawab menafkahi istri dan anak-anaknya untuk kebutuhan keluarga secukupnya, tapi jika ternyata tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari, dan keadaan suami mampu maka istri boleh mengambil harta suami tanpa seizin dan sepengetahuan suami secukupnya.

Jika istri membelanjakan harta suami bukan untuk kemaslahatan keluarga, seperti shadaqah kepada orang lain, dengan seizin suami, maka suami akan mendapatkan pahala, demikian pula istrinya, karena ia membantu suami beramal shalih, tapi jika tanpa seizin suami, istri mendapatkan separoh pahala, dengan syarat harta yang dishadaqahkan dengan nominal sedikit yang sekiranya suami mengizinkan, tapi jika nominalnya besar, maka harus dengan izin suami.

Imam Nawawi menjelaskan, bahwa seorang istri harus meminta izin ketika hendak membelanjakan harta suaminya, izin itu bisa secara ucapan ataupun secara u’rf/kebiasaan/keumuman.

Izin yang harus dengan ucapan adalah jika nominalnya secara ‘urf seseorang tidak rela kecuali sepengetahuannya, sedangkan izin yang tidak harus dengan ucapan, jika nominalnya secara u’rf seseorang rela tanpa sepengtahuannya, misal; memberi sekantong makanan kepada pengemis, dll.

Sedangkan berkenaan dengan hartanya pribadi, maka ia berhak untuk membelanjakan meskipun tanpa seizin suaminya, selama dalam hal-hal yang disyariatkan.

Hal ini didasarkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika menganjurkan para shahabiyat untuk berinfaq maka mereka melemparkan cincin-cincin dan perhiasan mereka di biliknya bilal, dan Rasulullah pun tidak bertanya kepada mereka apakah mereka telah minta izin kepada suami mereka atau belum. (Syarah Muslim).

Dan diriwayatkan bahwa Zainab Ummul Mukminin, beliau gemar bershadaqoh kepada orang-orang miskin. (Az-Zarqo ala mawaahib), Dan Rasulullah menyebutkan bahwa ia adalah istri yang paling panjang tanganya, karena kegemarannya dalam bershadaqah. (Ringkasan Fatwa Al-Azhar).

Fatwa Yasaluunaka.

Kesimpulan dari beberapa hadits tersebut adalah, bahwa istri boleh bersahadaqah dengan harta suaminya, dengan seizin suaminya, kecuali jika ‘urf/kebiasaan masyarakat tidak perlu izin, maka boleh bershadaqah tanpa seizin suaminya, seperti memberi sesuatu kepada seorang pengemis.

Syaikh Sholih Al-Munajjid menjelaskan bahwa seorang wanita bila telah menikah maka ketaatan suami lebih diutamakan dari pada ketaatan kepada orang tuanya.

Dan jika orang tuanya membutuhkan nafkah, maka wajib baginya untuk menafkahinya semampunya, jika ia tidak memiliki harta milik pribadinya, maka ia bisa meminta bantuan suaminya yang mampu agar berkenan membantu orang tuanya, dan insyaAllah ia akan mendapatkan pahala dan itu termasuk berbakti kepada orang tuanya. (Fatwa sual wal jawab)

Dijawab oleh: Ustadz Abu Abdirrahman Musthofa Ahmada, Lc., MA.

Artikel: www.ibnuumar.or.id

Posting Komentar

0 Komentar