Bolehkah Memberi Label Kafir Bagi Setiap Pelaku Kesyirikan
Pertanyaan:
Bismillah…
1. Ustadz, bagaimana hukum orang yang melakukan syirik padahal dia sudah tahu tentang syirik (meski sedikit), sehingga sering melakukan kesyirikan yang berulang-ulang dan selalu bertaubat, Apakah dia termasuk kafir/murtad berulang-ulang dan apa masih diterima taubatnya?
2. Ustadz, Apakah kafir orang yang ketika shalat dia kentut (buang angin) tetapi nekat sholat? Kalau kafir apakah sama statusnya dengan murtad?
Jazakalloohu khoiron
Jawaban Pertanyaan Pertama:
Ustadz, jika seseorang tidak berbuat syirik ketika meninggal namun melakukan pembatal keislaman lainnya seperti istihza biddin dan belum bertaubat aapakah bisa masuk surga?
Jawab :
Syaikh Utsaimin menjelaskan, "Hukum syar’i berkaitan dengan sifat dan juga berkaitan dengan pribadi seorang. Misal, kita mengatakan, 'Setiap orang yang beriman termasuk penghuni surga', kalimat ini umum dan berkaitan dengan sifat, artinya orang yang memiliki sifat iman, maka ia termasuk penghuni surga, demikian pula dengan kalimat, 'setiap orang kafir termasuk penghuni neraka', artinya orang yang memiliki sifat kekufuran maka ia termasuk penghuni neraka.
Akan tetapi, apakah kita boleh mengatakan kepada si fulan, misalkan si fulan termasuk penghuni surga, atau sifulan termasuk penghuni neraka. Jawabannya, 'Tidak boleh', karena hukum tersebut berkaitan dengan pribadi seseorang tertentu.
Sehingga jika ada seseorang yang mengucapkan satu kalimat kekufuran atau melakukan satu perbuatan kekufuran, kita tidak boleh langsung menghukumi dia telah kafir atau dia termasuk penghuni neraka, akan tetapi harus melihat terlebih dahulu sebab-sebab kenapa ia mengucapakan atau melakukan perbuatan kekufuran tersebut.
Misal seseorang dipaksa untuk sujud di hadapan berhala atau dipaksa mengucapkan kekufuran, kedua perbuatan tersebut adalah perbuatan kekufuran, tetapi apakah kita boleh menghukumi bahwa pelakunya telah kafir? tentu tidak, karena ada penghalangnya yaitu paksaan. (QS. An-Nahl: 106).
Atau mungkin karena ada penghalang-penghalang kekufuran yang lain, misal; kesalahan (seperti ucapan seorang hamba yang mendapatkan tunggangannya kembali, 'Ya Rabb Engkau hambaku dan aku tuhan-Mu', salah mengucapkan karena saking bahagianya) atau penghalang-penghalang yang lainya, dll. [liqo albab maftuh, syekh Utsaimin].
Kesimpulan
1. Untuk menghukumi seseorang tertentu telah keluar dari islam/kafir adalah hak ulama' yang tsiqoh bukan setiap orang.
2. Orang yang mengucapkan ucapan kekufuran atau melakukan satu perbuatan kekufuran, tidak serta merta langsung dihukumi ia telah keluar dari islam/kafir, akan tetapi harus ditegakkan hujjah terlebih dahulu, demikian pula konsekwensinya, tidak langsung dihukumi bahwa ia penghuni neraka dan tidak akan masuk surga.
3. Orang dihukumi telah keluar dari islam/kafir, kalau memang sudah ditegakkan hujjah, sudah jelas-jelas memenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada mawaani’/penghalang-penghalangnya. (kebodohan, kesalahan, paksaan, ta’wil dan taqlid).
4. Kaedah ahlus sunnah wal jama'ah yang harus diperhatikan
( من ثبت إسلامه بيقين فلا زوال بشك )
“Barangsiapa yang keislamannya ditetapkan dengan yakin (mengucap 2 kalimat syahadah), maka tidak hilang (keislamannya tersebut) dengan sesuatu yang ragu”.
[At-takfiir mafhuumu wa akhthoouhu dan dhowabithuhu 1/49].
Berkenaan dengan taubat, ulama telah menjelaskan syarat-syaratnya.
1. Ikhlas.
2. Menyesal atas perbuatan dosanya.
3. Meninggalkan perbuatan dosanya.
4. Bertekad bulat untuk tidak mengulanginya kembali.
5. Kesempatan taubat masih ada.
(Syaikh Utsaimin).
Kalau syarat tersebut tidak dipenuhi maka taubat tidak diterima, dan kelima syarat tersebut terpenuhi atau tidak, hanya pelakunya dan Allah yang mengetahuinya.
Sedangkan menghukumi apakah ia kafir atau tidak, bisa melihat penjelasan diatas.
Pertanyaan Kedua
Syaikh Utsaimin menjelaskan, bahwa seorang imam yang shalat dalam keadaan tidak suci dengan disengaja, maka dia telah berbuat dosa, wajib baginya untuk bertaubat dan beristigfar kepada Allah, dan mengulangi shalatnya. [liqooa albaabmaftuh].
Kesimpulan.
Shalat dalam keadaan berhadats dengan sengaja bukan termasuk pembatal islam, tapi merupakan perbuatan dosa dan kemaksitan yang wajib pelakunya bertaubat dan beristigfar.
Allahu a’lam bishshowab.. in akhto'tu Allahu warasuluhu bariiaani min hadzaa..
Dijawab oleh: Ustadz Abu Abdirrahman Musthofa Ahmada, Lc., MA.
Artikel: www.ibnuumar.or.id
0 Komentar